Senin, 06 Mei 2013

TEORI RESEPTOR DAN INTERAKSI OBAT YANG MENGUNTUNGKAN DAN MERUGIKAN



TUGAS FARMAKOLOGI
TEORI RESEPTOR DAN INTERAKSI OBAT YANG MENGUNTUNGKAN DAN MERUGIKAN “






Oleh :
Nama : Haza Septarina
Nim : 1208.0424

Dosen : DRA. HANIFDAR, APT


AKADEMI KEPERAWATAN
PEMERINTAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN
TAHUN AKADEMIK 2012-2013


Reseptor ?

Suatu makromolekul seluler yang secara spesifik dan langsung berikatan dengan ligan (obat, hormon, neurotransmiter) untuk memicu signaling kimia antara dan dalam sel  menimbulkan efek








Fungsi reseptor ?
• mengenal dan mengikat suatu ligan/obat dengan spesifisitas yang tinggi
• meneruskan signal ke dalam sel melalui:
• perubahan permeabilitas membran
• pembentukansecond messenger
• mempengaruhi transkripsi gen

Aksi obat spesifik




Aksi obat spesifik (lanjutan)
• Diawali dengan okupasi (pendudukan) obat pada tempat aksinya
• Obat = Ligan
• Agonis 􀃆 ligan/obat yang dapat berikatan dengan reseptor dan menghasilkan efek
• Antagonis 􀃆 ligan yang dapat berikatan dengan reseptor tapi tidak menghasilkan efek
• Tempat aksi = Reseptor
Efek/respon yang ditimbulkan:
•Sebanding dengan jumlah reseptor yang berinteraksi dengan obat
•Sebanding dengan komplek obat-reseptor yang terbentuk

SYARAT AGONIS DAPAT MENIMBULKAN RESPON
1. Afinitas
Kemampuan obat untuk berinteraksi dengan reseptornya 􀃆 parameter ??
pD2 = log ( 1 / [ D ] maks/2 ) = - log ( [ D ] maks /2) = log ( I / KD )
Ukuran kemampuan agonis untuk berinteraksi membentuk komplek dengan suatu reseptor 􀃆 Makna ??
Nilai pD2 besar maka afinitas semakin besar dan sensitivitas reseptor terhadap obat juga semakin besar.
2. Aktivitas intrinsik/efikasi
Kemampuan suatu obat untuk menghasilkan efek atau respon jaringan .
Fungsi ??
Menentukan besarnya efek maksimum yang dicapai oleh suatu senyawa
efek maksimum ?? = efek dalam skala respon maksimum Jaringan.





KERJA OBAT TANPA PERANTARAAN RESEPTOR
1. Efek non spesifik dan gangguan pada membran
• Perubahan sifat osmotik (urea, manitol, MgSO4)
• Perubahan sifat asam-basa (antasida, NH4Cl,NaHCO3)
• Kerusakan non spesifik (antiseptik-desinfektan)
• Gangguan fungsi membran (anestesi volatile)

2. Interaksi dengan molekul kecil atau ion (CaNa2EDTA- Pb2+)
3. Masuk ke dalam komponen sel (obat kanker)
KONSENTRASI DAN RESPON OBAT
• Dosis berbanding lurus dengan respon obat
• Respon berhenti pada konsentrasi tertentu

• Efikasi
• Potensi – dinyatakan dengan ED50
• Slope kurva dosis-respon




Contoh slope kurva dosis-respon
INDEKS TERAPI dan OBAT
IDEAL
• Indeks Terapi =LD50/ED50
• Menentukan tingkat keamanan obat
• Obat Ideal =LD1/ED99_ @ 1

INTERAKSI OBAT
• Menguntungkan
• Merugikan
Terbagi 3 kategori:
1. Inkompatibilitas
2. Interkasi farmakokinetik
3. Interaksi farmakodinamik





Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada sel organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional, yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang baru.
            Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon, faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan regulator (seperti    dihidrofolat  reduktase, asetilkolinesterase). Namun demikian, reseptor untuk obat pada umumnya merupakan reseptor yang berfungsi bagi ligan endogen (hormone dan neurotransmitter). 2 Reseptor   bagi   ligan endogen   seperti ini  pada   umumnya sangat spesifik (hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan).                 
                Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan  melakukan efek regulator   seperti sinyal endogen ini dinamakan  agonis Ada obat   yang juga   berikatan   dengan   reseptor   fisioloigs   namun   tanpa   menghasilkan   efek   regulator   dan   menghambat   kerja agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut dengan istilah antagonis, atau disebut juga dengan  bloker.   Obat yang   berikatan  dengan   reseptor   dan   hanya   menimbulkan   efek   agonis   sebagian   tanpa memedulikan   jumlah   dan   konsentrasi   substrat   disebut  agonis   parsial.  Obat   agonis-parsial   bermanfaat   untuk mengurangi efek   maksimal agonis  penuh, oleh  karena   itu   disebut   pula   dengan    istilah antagonis parsial Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut agonis negatif.
Obat harus berintekasi dengan target aksi obat (salah satunya adalah reseptor) untuk dapat menimbulkan efek. Interaksi obat dan reseptor dapat membentuk komplek obat-reseptor yang merangsang timbulnya respon biologis, baik respon antagonis maupun agonis. Mekanisme timbulnya respon biologis dapat dijelaskan dengan teori obat reseptor.
Ada beberapa teori interaksi obat reseptor, antara lain yaitu teori klasik, teori pendudukan, dan teori kecepatan.
Teori Klasik
·         Crum dan Brown dan Fraser (1869), mengaktakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis mempunyai sifat karakteristik.
·         Langley (1878), dalam studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan konsep reseptor yang pertama kali, kemudian dikembangkan oleh Ehrlich.
·         Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana tentang interaksi obat reseptor  yaitu corpora non agunt nisi fixate atau obat tidak dapat menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor. Reseptor biologis timbul bila ada interaksi antara tempat dan struktur dalam tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul asing yang sesuai atau obat, yang satu sama yang lainnya merupakan stuktur yang saling mengisi.Reseptor obat digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan mirip dengan struktur molekul obat
Teori Pendudukan
·         Clark (1926) memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati sati sisi reseptor dan obat harus  diberikan dalam jumlah yang berlebihan agar tetap efektif selama proses pembentukan kompleks 
Besarnya efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah reseptor khas yang diduduki molekul obat. Clark hanya meninjau  dari segi agonis saja yang kemudian dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari sisi antagonis.
Jadi respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat berupa :
1. rangsangan aktivitas (efek agonis )
2. pengurangan aktivitas (efek antagonis )
Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor menjadi dua tahap yaitu :
1. Pembentukan komplek obat-reseptor
2. Menghasilkan respon biologis
Setiap struktur  molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas  dapat menunjang afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk menimbulkan respon biologis sebagai akibat pembentukan komplek. Proses interaksinya adalah sebagai berikut:
Afinitas
O + R  < ==========>        komplek OR → respon biologis
Afinitas merupakan ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat bergantung dari struktur molekul obat dan sisi reseptor.
Efikasi (aktivitas instrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk memulai timbulnya respon biologis.
O + R < =====> O-R → respon (+) :  senyawa agonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik =1)
O + R < ===> O-R → respon (-) : senyawa antagonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik = 0)

Teori Kecepatan
·         Croxatto dan Huidobro (1956) memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat berinteraksi dengan reseptor.
·         Paton (1961) mengatakan bahwa efek biologis obat setara dengan kecepatan kombinasi obat-reseptor dan bukan jumlah reseptor yang didudukinya.Di sini, tipe kerja obat ditentukan oleh kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor dan bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil.
Asosiasi                                  dissolusi
O + R  < =========> komplek (OR) ——————–> respon biologis
Senyawa dikatakan agonis jika memiliki kecepatan asosiasi  (mengikat reseptor ) dan dissolusi yang besar. Senyawa dikatakan antagonis jika memiliki kecepatan asosiasi (mengikat reseptor) dan dissolusi kecil. Di sini, pendudukan reseptor tidak efektif karena menghalangi asosiasi senyawa agonis yang produktif.
Senyawa dikatakan agonis parsial jika kecepatan asosiasi dan dissolusinya tidak maksimal. Konsep di atas ditunjang oleh fakta bahwa banyak senyawa antagonis menunjukkan efek rangsangan singkat sebelum menunjukkan efek pemblokiran.
Pada permulaan kontak obat-reseptor, jumlah reseptor yang diduduki oleh molekul obat masih relatif sedikit, kecepatan penggabungan obat-reseptor maksimal sehingga timbul efek rangsangan yang singkat. Bila jumlah reseptor yang diduduki molekul obat cukup banyak, maka kecepatan penggabungan obat-reseptor akan turun sampai di bawah kadar yang diperlukan untuk menimbulkan respon biologis sehingga terjadi efek pemblokiran.

Pembagian Reseptor Fisiologik

1.      Reseptor enzim – mengandung protein permukaan kinase yang memfosforilasi protein efektor di  membran plasma. Fosforilasi mengubah aktivitas biokimia protein tersebut. Selain kinase, siklase juga dapat mengubah aktivitas biokimia efektor. Tirosin kinase, tirosin fosfatase, serin/treonin kinase, dan  guanil siklase berfungsi sebagai situs katalitik, dan berperan layaknya suatu enzim. Contoh ligan untuk reseptor ini: insulin, epidergmal growth factor (EGF), platelet-derived growth   factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF), tra nsforming growth factor-beta (TGF-ß), dan sitokin.

2.      Reseptor kanal ion – reseptor bagi beberapa neurotransmitter, sering disebut dengan istilah ligand-gated ion channels atau receptor operated channels. Sinyal mengubah potensial membran sel dan komposisi ionik instraselular dan ekstraselular sekitar.
Contoh ligan untuk reseptor ini: nikotinik, ?-aminobutirat tipe A (GABA  ), glutamat, aspartat, dan A glisin.


3.      Reseptor tekait Protein G – Protein G merupakan suatu protein regulator pengikatan GTP berbentuk heterotrimer.   Protein   G   adalah   penghantar   sinyal   dari   reseptor   di   permukaan   sel   ke   protein   efektor.  Protein efektor Protein G antara lain adenilat siklase, fosfolipase C dan A2, fosfodiesterase, dan kanal ion yang terletak di membran plasma yang selektif untuk ion Ca2+  dan K  . Obat selain antibiotik pada umumnya bekerja dengan mekanisme ini.
Contoh ligan untuk reseptor ini: amina biogenik, eikosanoid, dan hormon-hormon peptida lain.
4.      Reseptor  faktor  transkripsi   – mengatur transkripsi gen tertentu. Terdapat daerah pengikatan dengan DNA  (DNA  binding  domain) yang  berinteraski  secara  spesifik  pada  genom  tertentu  untuk mengaktifkan atau menghambat transkripsi.
Contoh ligan: hormon steroid, hormon tiroid, vitamin D, dan retinoid.

Sebenarnya tidak semua akibat interaksi obat ini merugikan, ada juga yang menguntungkan, misalnya penggunaan antibiotik penisilin bersamaan dengan probenesid akan mengakibatkan pengeluaran penisilin terhambat sehingga kadar penisilin tetap tinggi dalam plasma. Hal ini baik untuk infeksi pada saluran kemih seperti gonore.

Selain itu, penggunaan kombinasi obat antihipertensi yang dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping obat, kombinasi obat anti tuberkulosis yang dapat memperlambat timbulnya resistensi kuman terhadap obat dan antagonisme terhadap efek toksik obat oleh antidotnya masing masing, misalnya keracunan jengkol dengan bikarbonas, keracunan baygon dengan sulfas atropin dan lain sebagainya.

Nah....Dengan adanya kemungkinan berkurangnya khasiat obat, penting bagi kita untuk mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap timbulnya interaksi obat yang merugikan.

Pertama-tama, jika memperoleh resep obat dari dokter yang lebih dari satu, yakinkan dokter yang menulis ini benar-benar mengetahui obat-obat tersebut tidak saling mempengaruhi.
Dapat pula menanyakan kepada apoteker, pada saat menebus obat di apotek.

Kedua, informasikanlah semua obat yang anda konsumsi baik obat bebas maupun obat herba/suplemen kepada dokter anda.

Ketiga, perlu diingat nama-nama obat yang saling berinteraksi, misalnya aspirin atau obat pereda sakit yang lain, obat untuk sakit maag seperti antasida, anti mual dan muntah, antibiotik, antiperadangan, antihistamin, obat-obat untuk asma, tekanan darah tinggi, serta obat flu.

Terakhir, informasikan juga setiap efek yang tidak diharapkan yang muncul setelah anda mengkonsumsi suatu obat.
Interaksi antara obat dengan  obat didefinisikan sebagai modifikasi efek dari suatu obat karena kehadiran obat lain (Walker dan Edwards, 1989), baik diberikan sebelumnya atau bersamaan yang dapat memberikan potensi atau antagonisme satu obat oleh obat lain (Anonim, 2000), dapat menguntungkan ataupun merugikan.
Interaksi obat terjadi ketika efek suatu obat diubah dengan adanya obat lain atau dengan makanan.
Jenis-Jenis Interaksi :
1.  Interaksi obat dengan obat
2.  Interaksi obat dengan makanan
3.  Interaksi obat dengan minuman
4.  Interaksi obat dengan penyakit
Contoh : Sakit maag atau dyspepsia --> minum obat NSID (asam mefenamat, aspirin) akan mengalami gangguan pada lambung

Interaksi yang merugikan
Obat-obat golongan sedatif dan antihistamin jika digunakan secara bersamaan dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan memperlambat reaksi pasien karena efek penurunan kesadaran keduanya menjadi efek sinergisme (Anonim, 2005)
Contoh: Obat-obat sedatif (diazepam, klordiazepoksid, luminal) jika digunakan secara bersamaan
             dengan antihistamin menyebabkan penurunan kesadaran

Interaksi yang menguntungkan
Penggunaan bersama sulfametoksasol dan trimetoprim-->kotrimoksasol
Penggunaan bersama antara metoklopramid dan parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol.
Efek yang dihasilkan : 1/2 tablet Paracetamol + metoklopramid = 1 tablet paracetamol tunggal 

Hasil Interaksi
Hasil interaksi obat dengan obat adalah respon klinis atau farmakologis dari suatu pemberian
kombinasi obat, yang berbeda dari yang seharusnya terjadi bila kedua obat-obat diberikan
sendiri-sendiri. Efek yang terjadi dapat berupa :
a.  Antagonisme (1+1<2)--> saling menurunkan khasiat dari masing-masing obat
     Kegiatan obat pertama dikurangi atau bahkan ditiadakan sama sekali oleh obat kedua yang
     memiliki khasiat farmakologis yang bertentangan, misalnya adrenalin dan histamin.
     Contoh : ekspektoran + antitusiv, adrenalin + antihistamin
b.  Sinergisme (1+1>2)
     Kerjasama antara dua obat dan dikenal ada dua jenis yaitu Adisi efek kombinas adalah sama
     dengan kegiatan dari masing-masing obat (1+1=2).
     Contoh : kombinasi asetosal dan parasetamol, juga trisulfa.
     Potensiasi (mempertinggi potensi). Kegiatan obat dipertinggi oleh obat kedua (1+1>2),
     kedua obat dapat memiliki kegiatan yang sama seperti estrogen dan progesteron,
     sulfametoksasol dan trimetoprim asetosal dan kodein. Atau satu obat tidak memiliki efek
     bersangkutan misalnya analgetik dan klorpromazin, benzodiazepin/meprobamat dan alkohol,
     penghambatan MAO dan amfetamin dan lainnya
     Contoh : Sulfametoksasol + Trimetoprim --> efek sinergesme
                   Amoxicillin + Asam Klavulanat --> Asam Klavulanat meningkatkan aktivitas amoksisilin karena dapat memproteksi cincin beta laktam dari amoxicillin.
c.  Idiosinkrasi
     Yaitu peristiwa suatu obat memberikan efek yang secara kualitatif total berlainan dari efek
     normalnya, umumnya disebabkan kelainan genetika pada pasien bersangkutan. Sebagai
     contoh disebut Anemia Hemolitik (kurang darah akibat terurainya sel-sel darah) setelah
     pengobatan malaria dengan primaquin atau derivatnya. Contoh lain pasien pada
     pengobatan neuroleptika untuk menenangkannya justru memperlihatkan reaksi yang
     bertentangan dan menjadi gelsiah dan cemas (Tjay dan Rahardja, 1986)

Mekanisme Interaksi Obat :
Mekanisme interaksi obat dibagi mnjadi 3 kelompok :
1. Interaksi Farmasetik
         Interaksi farmasetik adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat diformulasikan atau disiapkan sebelum obat tersebut digunakan oleh pasien
    Contoh : a. Penurunan titik kelarutan, penurunan titik beku pada interaksi secara fisik.
                  b. Reaksi hidrolisa saat pembuatan atau dalam penyiapan pada interaksi kimia dapat
                      menyebabkan inkompatibilitas sediaan obat
2. Interaksi Farmakokinetik
         Pada interaksi farmakokinetik terjadi perubahan pada proses absorbsi, distribusi,
    metabolisme, dan ekskresi, dapat dilihat perubahan-perubahan parameter farmakokinetika
    seperti konsentrasi maksimal luas area di bawah kurva dan waktu paroh suatu obat.
    2.1. Interaksi pada Absorbsi
           Interaksi ini terjadi jika absorbsi suatu obat dipengaruhi oleh obat lain.
           Contoh : terbentuknya kelat Al, Mg, Ca, garam besi oleh tetrasiklin
    2.2. Interaksi dalam proses Distribusi
           Interaksi ini terjadi jika obat-obat dengan ikatan protein kuat mendesak obat-obat dengan
           ikatan protein lemah sehingga konsentrasi obat bebas meningkat. Terjadinya hal tersebut
           sangat potensial dalam peningkatan efek toksik dari suatu obat, terutama oabat yang
           memiliki rasio efek terapi dan efek toksik yang rendah (indeks terapi sempit)
           Contoh : a) meningkatnya efek toksik warfarin atau obat hipoglikemik karena pemberian
                             bersama dengan fenilbutazon, sulfa / asetosal
    2.3. Interaksi dalam proses Metabolisme
           Metabolisme suatu obat dihambat atau ditingkatkan oleh obat lain. Biasanya berpengaruh
           pada sitokrom P450

    2.4. Interaksi dalam proses Ekskresi
           Ekskresi obat melalui ginjal dipengaruhi oleh obat lain
           Contoh : Quinidin menginhibisi sekresi tubular dari digoksin dan konsekuensinya
                         konsentrasi plasma digoksin meningkat dan mungkin menyebabkan toksik
3. Interaksi Farmakodinamik
    Pada interaksi farmakodinamik terjadi interaksi pada tingkat reseptor. Jika interaksi bersifat
    sinergisme maka efek obat akan meningkat. Jika interaksi bersifat antagonisme maka efek
    obat akan menurun (saling meniadakan).
    Contoh : penurunan aksi obat-obat hipnotik oleh coffein.

Ada 5 tingkat signifikansi yang menunjukkan tingkat keberbahayaan suatu interasi antar obat yaitu:
1. Signifikansi 1 : berat atau berbahaya dan data terdokumentasi dengan baik
2. Signifikansi 2 : berat atau berbahaya sampai sedang dan data terdokumentasi dengan baik
3. Signifikansi 3 : tidak berbahaya (ringan) dengan data terdokumentasi dengan baik
4. Signifikansi 4 : tidak berbahaya (ringan) dengan data sangat terbatas
5. Signifikansi 5 : tidak berbahaya (ringan) dengan data sangat terbatas dan belum terbukti secara
    klinis.

Tingkat signifikansi dinilai dari onset, severity/keparahan, serta dokumentasi.

Onset adalah seberapa cepat efek dari suatu interaksi terjadi dan menentukan seberapa penting tindakan yang harus dilakukan untuk menghindari akibat dari suatu reaksi. Onset dibagi 2 :
a. Rapid : efek dari interaksi obat yang terlihat dalam 24 jam setelah pemberian obat, perlu
               tindakan penanganan segera.
b. Delayed : efek dari interaksi obat yang terlihat berhari-hari bahkan berminggu-minggu
                   setelah pemberian obat, tidak perlu tindakan penanganan dengan segera

Severity / tingkat keparahan adalah potensi keberbahayaan interaksi.
Dibagi menjadi 3 :
a. Major : efek potensial yang membahayakan jiwa atau menyebabkan kerusakan permanen
b. Moderate : efek yang menyebabkan perubahan dari status klinis pasien, perawatan tambahan,
                      rawat inap, atau perpanjangan rawat inap diperlukan
c. Minor : efek biasanya ringan, akibatnya mungkin mengganggu atau tidak disadari, tetapi tidak 
                mempengaruhi secara signifikan terhadap efek obat yang diinginkanterjadi. Tidak
                diperlukan perawatan tambahan





Dokumentasi menentukan tingkat kepercayaan atau bukti bahwa interaksi dapat menyebabkan perubahan respon klinis. Skala ini menunjukkan pengelompokan yang mendukung terjadinya suatu interaksi.
Ada 5 tingkatan dokumentasi :
1. Established : terbukti dalam penelitian terkontrol.
2. Probable : sering terjadi tetapi tidak terbukti dalam peneltian terkontrol
3. Suspected : dapat terjadi dengan data kejadian yang cukup dan diperlukan penelitian lebih
                       lanjut
4. Possible : mungkin terjadi dengan data kejadian sangat terbatas
5. Unlikely : diragukan, tidak ada bukti yang cukup terjadinya perubaan efek klinis

” INTERAKSI OBAT ”
Secara umum suatu interaksi obat dapat digambarkan sebagai suatu interaksi antar suatu obat dan unsur lain yang yang dapat mengubah kerja salah satu atau keduanya, atau menyebabkan efek samping tak diduga. Pada prinsipnya interaksi obat dapat menyebabkan dua hal penting. Yang pertama, interaksi obat dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan khasiat obat. Yang kedua, interaksi obat dapat menyebabkan gangguan atau masalah kesehatan yang serius, karena meningkatnya efek samping dari obat- obat tertentu. Risiko kesehatan dari Interaksi obat ini sangat bervariasi, bisa hanya sedikit menurunkan khasiat obat namun bisa pula fatal.
Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman ataupun obat-obatan. Interaksi juga terjadi pada berbagai kondisi kesehatan seperti diabetes, penyakit ginjal atau tekanan darah tinggi. Dalam hal ini terminologi interaksi obat dikhususkan pada interaksi obat dengan obat.
Dalam interaksi obat-obat, obat yang mempengaruhi disebut presipitan, sedangkan obat yang dipengaruhi disebut objek. Contoh presipitan adalah aspirin, fenilbutazon dan sulfa. Object drug biasanya bersifat mempunyai kurva dose-response yang curam (narrow therapeutic margin), dosis toksik letaknya dekat dosis terapi (indeks terapi sempit). Contoh : digoksin, gentamisin, warfarin objeko, dilantin, obat sitotoksik, kontraseptif oral, dan obat-obat sistem saraf pusat. Berdasarkan jenis atau bentuknya interaksi obat diklasifikasikan atas:
  1. Interaksi secara kimia atau farmasetis
  2. Interaksi secara farmakokinetik
  3. Interaksi secara fisiologi
  4. Interaksi secara farmakodinamik

Interaksi secara kimia / farmasetis terjadi apabila secara fisik atau kimia suatu obat inkompatibel dengan obat lainnya. Pencampuran obat yang inkompatibel akan mengkibatkn inaktivasi obat. Interaksi ini sering terjadi pada cairan infus yang mencampurkan berbagai macam obat . Interaksi secara farmakokinetik terjadi apabila suatu obat memepengaruhi absorpsi, distribusi, biotransformasi / metabolisme, atau ekskresi obat lain.
Secara fisiologi interaksi terjadi apabila suatu obat merubah aktivitas obat lain pada lokasi yang terpisah dari tempat aksinya. Sedangkan interaksi secara farmakodinamik terjadi apabila suatu obat mempengaruhi aktivitas obat lain pada atau dekat sisi reseptornya. Pada kenyataaanya interakPada kenyataanya banyak obat yang berinteraksi obat terjadi tidak hanya dengan satu mekanisme tetapi melibatkan dua atau lebih mekanisme. Akan tetapi secara umum mekanisme interaksi obat dalam tubuh dapat dijelaskan atas dua mekanisme utama, yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.
Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain.
Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan atau merugikan. Interaksi yang menguntungkan, misalnya (1) Penicillin dengan probenesit: probenesit menghambat sekresi penilcillin di tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penicillin dalam plasma dan dengan demikian meningkatkan efektifitas dalam terapi gonore; (2) Kombinasi obat anti hipertensi: meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping: (3) Kombinasi obat anti kanker: juga meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping (4) kombinasi obat anti tuberculosis: memperlambat timbulnya resistansi kuman terhadap obat; (5) antagonisme efek toksik obat oleh antidotnya masing-masing.
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektifitas obat yang berinteraksi, jadi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit, misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitotastik. Demikian juga interaksi yang menyangkut obat-obat yang biasa digunakan atau yang sering diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang dipakai.
Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan karena (1) Dokumentasinya masih sangat kurang; (2) Seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan para dokter akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat sehingga interaksi obat berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat sedangkan interaksi berupa penurunan efektifitas seringkali diduga akibat bertambahnya keparahan penyakit; selain itu, terlalu banyak obat yang saling berinteraksi sehingga sulit untuk diingat; (3) Kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual ( populasi tertentu lebih peka misalnya penderita lanjut usia atau yang berpenyakit parah, adanya perbedaan kapasitas metabolisme antar individu ), penyakit tertentu ( terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah), dan faktor- faktor lain ( dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik).
Salah satu faktor yang dapat mengubah respon terhadap obat adalah pemberian bersamaan dengan obat-obat lain. Ada beberapa mekanisme dimana obat dapat berinteraksi, tetapi kebanyakan dapat dikategorikan secara farmakokinetik ( absorpsi, distribusi, metabolisme, eksresi), farmakodinamik, atau toksisitas kombinasi. Pengetahuan tentang mekanisme dimana timbulnya interaksi obat yang diberikan sering bermanfaat secara klinik, karena mekanisme dapat mempengaruhi baik waktu pemberian obat maupun metode interaksi. Bebereapa interaksi obat yang penting timbul akibat dua mekanisme atau lebih.


Akibat interaksi obat dapat terjadi keadaan :
Sumasi (adiktif).
Sinergisme, contoh : Sulfonamid mencegah bakteri untuk mensintesa dihidrofolat, sedangkan trimetoprim menghambat reduksi dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Kedua obat ini bila diberikan bersama-sama akan memiliki efek sinergistik yang kuat sebagai obat anti bakteri.
Antagonisme, contoh : Antagonis reseptor beta ( beta bloker) mengurangi efektifitas obat-obat bronkhodilator seperti salbutamol yang merupakan agonis beta reseptor.
Potensiasi, contoh : 1) banyak diuretika yang menurunkan kadar kalium plasma, dan yang akan memperkuat efek glikosid jantung yang mempermudah timbulnya toksisitas glikosid. 2) Penghambat monoamin oksidase meningkatkan jumlah noradrenalin di ujung syaraf adrenergik dan karena itu memperkuat efek obat-obat seperti efedrin dan tiramin yang bekerja dengan cara melepaskan noradrenalin.
Pemberian suatu obat ( misal obat A) dapat mengubah efek obat lain (misal obat B) dengan cara : (1) Mengubah efek obat B tanpa mempengaruhi konsentrasi di cairan jaringan (disebut interaksi farmakodinamik), atau (2) Mengubah konsentrasi obat B yang mencapai tempat kerja (disebut interaksi farmakokinetik ).
Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi apabila salah satu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan aktivitas obat tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat di ekstra polasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya.
A. Interaksi obat pada proses absorbsi
Interaksi langsung
Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorbsi dapat mengganggu proses absorbsi. Interaksi dapat dihindarkan/sangat dikurangi bila obat yang berinteraksi diberikan dengan jarak waktu minimal 2jam.
Obat A
Obat B
Efek
Tetrasiklin
Kation multivalen (Ca2+ , Mg2+, Al3+ dalam antasid, Ca2+ dalam susu, Fe2+ dalam sediaan besi)
Terbentu kelat yang tidak di absorbsi " jumlah absorbsi obat A dan Fe2+$
Digoksin, digitoksin
Kolestiramin
Kortikosteroid, tiroksin
Obat A diikat oleh obat B " jumlah absorbsi
obat A$
Digoksin, linkomisin
Kaolin-pektin
Obat A diabsorbsi oleh obat B " jumlah absorbsi obat A$
Perubahan pH cairan saluran cerna
Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat antacid, akan meningkatkan kelarutan obat bersifat asam yang sukar larut dalam cairan tersebut, misalnya aspirin. Dalam suasana alkalis, aspirin lebih banyak terionisasi sehingga absorbsi per satuan area absorbsi lebih lambat, tetapi karena sangat luas area absorbsi di usus halus maka kecepatan abrsorbsi secara keseluruhan tidak banyak dipengaruhi. Dengan demikian, dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorbsinya. Akan tetapi, suasana alkali di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, dangan akibat mengurangi absorbsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh antasid akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya, dan mengurangi absorbsi Fe, yang di absorbsi paling baik bila cairan lambung sangat asam.
Obat A
Obat B
Efek
NaHCO3
Aspirin
Kecepatan disolusi B # " kecepatan absorbsi obat B #
NaHCO3
Tetrasiklin
Kelarutan obat B $ " jumlah absorbsi obat B $
Antasit
Penisilin G, eritromisin
pH lambung # " pengrusakan obat B $ " jumlah absorbsi obat B #
Perubahan waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus (motilitas saluran cerna).
Usus halus adalah tempat absorbsi utama untuk semua obat termasuk obat bersifat asam. Disini absorbsi terjadi jauh lebih cepat dari pada di lambung. Oleh karena itu, makin cepat obat sampai di usus halus, makin cepat pula absorbsinya. Kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya mempengaruhi kecepatan absorbsi tanpa mempengaruhi jumlah obat yang diabsorbi. Ini berarti, kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya mengubah tinggi kadar puncak dan waktu untuk mencapai kadar tersebut tanpa mengubah bioavailibilitas obat. Karena kapasitas metabolisme dinding usus halus lebih terbatas dibandingkan kapasitas absorbsinya, maka makin cepat obat ini sampai di usus halus, makin tinggi bioavailibilitanya.











Obat A
Obat B
Efek
Metoklopramid
Parasetamol, diazepam, propanolol
Obat A memperpendek waktu pengosongan lambung " mempercepat absorbsi obat B
Antikolinergik
Antidepresi trisiklik
Parasetamol, diazepam, propanolol, fenilbutazon
Obat A memperpanjang waktu pengosongan lambung " memperlambat absorbsi obat B
Antikolinergik
Antidepresi trisiklik
Levodopa
Obat A memperpanjang waktu pengosongan lambung " bioavailibilitas obat B $
B. Interaksi obat pada ikatan protein plasma
Banyak obat terikat pada protein plasma, obat yang bersifat asam terutama pada albumin, sedangkan obat yang bersifat basa pada asam a1-glikoprotein. Oleh karena jumlah protein plasma terbatas, maka terjadi kompetisi antara obat bersifat asam maupun antara obat bersifat basa untuk berikatan dengan protein yang sama. Tergantung dari kadar obat dan afinitasnya terhadap protein, maka suatu obat dapat digeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain, dan peningkatan kadar obat bebas menimbulkan peningkatan efek farmakologinya. Akan tetapi keadaan ini hanya berlangsung sementara karena peningkatan kadar obat bebas juga meningkatkan eliminasinya sehingga akhirnya tercapai keadaan mantap yang baru dimana kadar obat total menurun tetapi kadar obat bebas kembali seperti sebelumnya (mekanisme konpensasi).
Obat A
Obat B
Efek
Tolbutamid, klorpropamid
Fenilbutazon, oksifenbutazon, salisilat
Hipoglikemia
Fenitoin
Fenilbutazon, oksifenbutazon, salisilat, valproat
Toksisitas fenitoin #

C. Interaksi obat pada proses metabolisme
Metabolisme obat dipercepat
Setiap seaksi metabolisme dikatalis oleh beberapa jenis enzim yang berbeda dalam spesifitas substratnya dan kemampuannya untuk diinduksi. Oleh karena itu, tergantung dari jenis enzim yang diinduksinya, suatu zat penginduksi dapat mempercepat metabolisme beberapa obat tetapi tidak mempengaruhi metabolisme obat-obat yang lain.
Bila metabolit hanya sedikit atau tidak mempunyai efek farmakologi, maka zat penginduksi mengurangi efek obat. Sebaliknya, bila metabolik lebih aktif atau merupakan zat yang toksik, maka zat penginduksi meningkatkan efek atau toksisits obat.

Obat A
Obat B
Efek
Fenitoin
Korikoseroid,hormon seks steroid, kuinidin
Obat A menginduksi sintesis enzim metabolisme obat B " metabolisme obat B# " kadar plasma obat B $ sedangkan metabolitnya#
Kabamazepin
Fenitoin, warfarin
Merokok,makanan panggang arang
Teofilin, dekstroproposifen

Metabolisme obat dihambat
Penghambatan metabolisme suatu obat menyebabkan peningkatan kadar plasma obat tersebut sehingga meningkatkan efek atau toksisitas. Kebanyakan interaksi demikian terjadi akibat kompetisi antar substrat untuk enzim metabolisme yang sama.
Obat A
Obat B
Efek
Fenitoin
Dikumoral,disurfiram, kloramfenikol, fenilbutazon, simetidin, dekstrorpopoksifen, INH (pada asetilator lamban), PAS,sikloserin, klorpromazin, imipramin.
Obat B menghambat metabolisme obat A " efek / toksisitas obat A#
Lidokain
Simetidin
Warfarin
Fenilbutazon, oksifenbutazon, kotrimoksazol,disulfiram, metronidazol, simetidin, dekstropropoksifen.

Interaksi Dalam Ekskresi
Ekskresi melalui empedu dan sirkulasi enterohepatik. Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama. Sedangkan sirkulasi enterohepatik dapat diputuskan dengan mensupresi bakteri usus yang menghidrolisis konyugat obat atau dengan mengikat obat dibebaskan sehingga tidak dapat diabsorbsi.
Sekresi tubuli ginjal. Penghambatan sekresi di tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat untuk sistem transportasi aktif yang sama, terutama sistem transport untuk obat asam dan metabolit yang bersifat asam.
Perubahan pH urin. Perubahan ini akan menghasilkan perubahan bersihan ginjal (melalui perubahan jumlah reabsorbsi pasif di tubuli ginjal ) yang berarti secara klinik hanya bila : (1) fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (lebih dari 30%), dan (2) obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam lemah dengan pKa 3,0-7,5.


1 komentar:

  1. No Deposit Bonus Casino: Claim Free Spins for
    No Deposit Bonus 해적 룰렛 Casino No Deposit Bonuses Welcome Bonus from the 실시간 스포츠 배팅 UK Casinos: 삼성 코엑스 Play 무료슬롯머신 with Bonus, No Deposit 토토 사이트 넷마블 Bonus, Free Spins!

    BalasHapus