TUGAS
FARMAKOLOGI
“TEORI RESEPTOR DAN INTERAKSI OBAT YANG MENGUNTUNGKAN DAN
MERUGIKAN “

Oleh :
Nama
: Haza Septarina
Nim
: 1208.0424
Dosen : DRA.
HANIFDAR, APT
AKADEMI KEPERAWATAN
PEMERINTAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN
TAHUN AKADEMIK 2012-2013
Reseptor ?
Suatu makromolekul
seluler yang secara spesifik dan langsung berikatan dengan ligan (obat, hormon,
neurotransmiter) untuk memicu signaling kimia antara dan dalam sel menimbulkan
efek

Fungsi
reseptor ?
•
mengenal dan mengikat suatu ligan/obat dengan spesifisitas yang tinggi
•
meneruskan signal ke dalam sel melalui:
•
perubahan permeabilitas membran
•
pembentukansecond messenger
•
mempengaruhi transkripsi gen
Aksi
obat spesifik


Aksi
obat spesifik (lanjutan)
•
Diawali dengan okupasi (pendudukan) obat pada tempat aksinya
•
Obat = Ligan
•
Agonis
ligan/obat yang dapat berikatan dengan reseptor dan menghasilkan efek
•
Antagonis
ligan yang dapat berikatan dengan reseptor tapi tidak menghasilkan efek
•
Tempat aksi = Reseptor
Efek/respon
yang ditimbulkan:
•Sebanding
dengan jumlah reseptor yang berinteraksi dengan obat
•Sebanding
dengan komplek obat-reseptor yang terbentuk
SYARAT
AGONIS DAPAT MENIMBULKAN RESPON
1.
Afinitas
Kemampuan
obat untuk berinteraksi dengan reseptornya
parameter ??
pD2
= log ( 1 / [ D ] maks/2 ) = - log ( [ D ] maks /2) = log ( I / KD )
Ukuran
kemampuan agonis untuk berinteraksi membentuk komplek dengan suatu reseptor
Makna ??
Nilai
pD2 besar maka afinitas semakin besar dan sensitivitas reseptor terhadap obat
juga semakin besar.
2.
Aktivitas intrinsik/efikasi
Kemampuan
suatu obat untuk menghasilkan efek atau respon jaringan .
Fungsi
??
Menentukan
besarnya efek maksimum yang dicapai oleh suatu senyawa
efek
maksimum ?? = efek dalam skala respon maksimum Jaringan.
KERJA
OBAT TANPA PERANTARAAN RESEPTOR
1.
Efek non spesifik dan gangguan pada membran
•
Perubahan sifat osmotik (urea, manitol, MgSO4)
•
Perubahan sifat asam-basa (antasida, NH4Cl,NaHCO3)
•
Kerusakan non spesifik (antiseptik-desinfektan)
•
Gangguan fungsi membran (anestesi volatile)
2.
Interaksi dengan molekul kecil atau ion (CaNa2EDTA- Pb2+)
3.
Masuk ke dalam komponen sel (obat kanker)
KONSENTRASI
DAN RESPON OBAT
•
Dosis berbanding lurus dengan respon obat
•
Respon berhenti pada konsentrasi tertentu


•
Efikasi
•
Potensi – dinyatakan dengan ED50
•
Slope kurva dosis-respon
Contoh
slope kurva dosis-respon

INDEKS
TERAPI dan OBAT
IDEAL
•
Indeks Terapi =LD50/ED50
•
Menentukan tingkat keamanan obat
• Obat Ideal =LD1/ED99_
@ 1
INTERAKSI
OBAT
•
Menguntungkan
•
Merugikan
Terbagi
3 kategori:
1.
Inkompatibilitas
2.
Interkasi farmakokinetik
3.
Interaksi farmakodinamik
Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan
reseptor pada sel organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu
makromolekul fungsional, yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor
fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurtransmiter).
Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan
fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang baru.
Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon,
faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan
regulator (seperti dihidrofolat reduktase,
asetilkolinesterase). Namun demikian, reseptor untuk obat pada umumnya
merupakan reseptor yang berfungsi bagi ligan endogen (hormone dan
neurotransmitter). 2 Reseptor bagi ligan
endogen seperti ini pada umumnya sangat spesifik
(hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan).
Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan melakukan
efek regulator seperti sinyal endogen ini dinamakan agonis
Ada obat yang juga berikatan
dengan reseptor fisioloigs namun
tanpa menghasilkan efek
regulator dan menghambat kerja agonis
(terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut dengan istilah
antagonis, atau disebut juga dengan bloker. Obat
yang berikatan dengan reseptor
dan hanya menimbulkan efek
agonis sebagian tanpa memedulikan
jumlah dan konsentrasi substrat
disebut agonis parsial. Obat
agonis-parsial bermanfaat untuk mengurangi
efek maksimal agonis penuh, oleh karena
itu disebut pula dengan
istilah antagonis parsial Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor
fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut agonis
negatif.
Obat harus berintekasi dengan target aksi obat (salah
satunya adalah reseptor) untuk dapat menimbulkan efek. Interaksi obat dan
reseptor dapat membentuk komplek obat-reseptor yang merangsang timbulnya respon
biologis, baik respon antagonis maupun agonis. Mekanisme timbulnya respon
biologis dapat dijelaskan dengan teori obat reseptor.
Ada
beberapa teori interaksi obat reseptor, antara lain yaitu teori klasik, teori
pendudukan, dan teori kecepatan.
Teori
Klasik
·
Crum
dan Brown dan Fraser (1869),
mengaktakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa merupakan fungsi dari
struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis mempunyai
sifat karakteristik.
·
Langley
(1878), dalam studi efek antagonis
dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan konsep reseptor yang pertama kali,
kemudian dikembangkan oleh Ehrlich.
·
Ehrlich
(1907), memperkenalkan istilah
reseptor dan membuat konsep sederhana tentang interaksi obat reseptor
yaitu corpora non agunt nisi fixate atau obat tidak dapat menimbulkan
efek tanpa mengikat reseptor. Reseptor biologis timbul bila ada interaksi
antara tempat dan struktur dalam tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor,
dengan molekul asing yang sesuai atau obat, yang satu sama yang lainnya
merupakan stuktur yang saling mengisi.Reseptor obat digambarkan seperti
permukaan logam yang halus dan mirip dengan struktur molekul obat
Teori
Pendudukan
·
Clark
(1926) memperkirakan bahwa satu
molekul obat akan menempati sati sisi reseptor dan obat harus diberikan
dalam jumlah yang berlebihan agar tetap efektif selama proses pembentukan
kompleks
Besarnya
efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah reseptor
khas yang diduduki molekul obat. Clark hanya meninjau dari segi
agonis saja yang kemudian dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau
dari sisi antagonis.
Jadi
respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat berupa :
1.
rangsangan aktivitas (efek agonis )
2.
pengurangan aktivitas (efek antagonis )
Ariens (1954) dan Stephenson
(1959), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor menjadi dua tahap
yaitu :
1.
Pembentukan komplek obat-reseptor
2.
Menghasilkan respon biologis
Setiap
struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas
dapat menunjang afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk
menimbulkan respon biologis sebagai akibat pembentukan komplek. Proses
interaksinya adalah sebagai berikut:
Afinitas
O +
R < ==========> komplek
OR → respon biologis
Afinitas
merupakan ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat
bergantung dari struktur molekul obat dan sisi reseptor.
Efikasi
(aktivitas instrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk memulai timbulnya
respon biologis.
O + R <
=====> O-R → respon (+) : senyawa agonis (afinitas besar dan aktivitas
instrinsik =1)
O + R <
===> O-R → respon (-) : senyawa antagonis (afinitas besar dan aktivitas
instrinsik = 0)
Teori
Kecepatan
·
Croxatto dan Huidobro (1956)
memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat berinteraksi dengan
reseptor.
·
Paton
(1961) mengatakan bahwa efek
biologis obat setara dengan kecepatan kombinasi obat-reseptor dan bukan jumlah
reseptor yang didudukinya.Di sini, tipe kerja obat ditentukan oleh kecepatan
penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor dan
bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil.
Asosiasi
dissolusi
O + R < =========> komplek (OR) ——————–>
respon biologis
Senyawa
dikatakan agonis jika memiliki kecepatan asosiasi (mengikat reseptor )
dan dissolusi yang besar. Senyawa dikatakan antagonis jika memiliki kecepatan
asosiasi (mengikat reseptor) dan dissolusi kecil. Di sini, pendudukan reseptor
tidak efektif karena menghalangi asosiasi senyawa agonis yang produktif.
Senyawa
dikatakan agonis parsial jika kecepatan asosiasi dan dissolusinya tidak
maksimal. Konsep di atas ditunjang oleh fakta bahwa banyak senyawa antagonis
menunjukkan efek rangsangan singkat sebelum menunjukkan efek pemblokiran.
Pada
permulaan kontak obat-reseptor, jumlah reseptor yang diduduki oleh molekul obat
masih relatif sedikit, kecepatan penggabungan obat-reseptor maksimal sehingga
timbul efek rangsangan yang singkat. Bila jumlah reseptor yang diduduki molekul
obat cukup banyak, maka kecepatan penggabungan obat-reseptor akan turun sampai
di bawah kadar yang diperlukan untuk menimbulkan respon biologis sehingga
terjadi efek pemblokiran.
Pembagian
Reseptor Fisiologik
1.
Reseptor enzim – mengandung protein
permukaan kinase yang memfosforilasi protein efektor di membran plasma.
Fosforilasi mengubah aktivitas biokimia protein tersebut. Selain kinase,
siklase juga dapat mengubah aktivitas biokimia efektor. Tirosin kinase, tirosin
fosfatase, serin/treonin kinase, dan guanil siklase berfungsi sebagai
situs katalitik, dan berperan layaknya suatu enzim. Contoh ligan untuk reseptor
ini: insulin, epidergmal growth factor (EGF), platelet-derived
growth factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF), tra
nsforming growth factor-beta (TGF-ß), dan sitokin.
2.
Reseptor kanal ion – reseptor bagi
beberapa neurotransmitter, sering disebut dengan istilah ligand-gated ion
channels atau receptor operated channels. Sinyal mengubah potensial membran sel
dan komposisi ionik instraselular dan ekstraselular sekitar.
Contoh
ligan untuk reseptor ini: nikotinik, ?-aminobutirat tipe A (GABA ),
glutamat, aspartat, dan A glisin.
3.
Reseptor tekait Protein G – Protein
G merupakan suatu protein regulator pengikatan GTP berbentuk
heterotrimer. Protein G adalah
penghantar sinyal dari reseptor
di permukaan sel ke
protein efektor. Protein efektor Protein G antara lain
adenilat siklase, fosfolipase C dan A2, fosfodiesterase, dan kanal ion yang
terletak di membran plasma yang selektif untuk ion Ca2+ dan K .
Obat selain antibiotik pada umumnya bekerja dengan mekanisme ini.
Contoh
ligan untuk reseptor ini: amina biogenik, eikosanoid, dan hormon-hormon peptida
lain.
4.
Reseptor faktor
transkripsi – mengatur transkripsi gen tertentu. Terdapat daerah
pengikatan dengan DNA (DNA binding domain) yang
berinteraski secara spesifik pada genom tertentu
untuk mengaktifkan atau menghambat transkripsi.
Contoh
ligan: hormon steroid, hormon tiroid, vitamin D, dan retinoid.
Sebenarnya
tidak semua akibat interaksi obat ini merugikan, ada juga yang menguntungkan,
misalnya penggunaan antibiotik penisilin bersamaan dengan probenesid akan
mengakibatkan pengeluaran penisilin terhambat sehingga kadar penisilin tetap
tinggi dalam plasma. Hal ini baik untuk infeksi pada saluran kemih seperti gonore.
Selain itu, penggunaan kombinasi obat antihipertensi yang dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping obat, kombinasi obat anti tuberkulosis yang dapat memperlambat timbulnya resistensi kuman terhadap obat dan antagonisme terhadap efek toksik obat oleh antidotnya masing masing, misalnya keracunan jengkol dengan bikarbonas, keracunan baygon dengan sulfas atropin dan lain sebagainya.
Nah....Dengan adanya kemungkinan berkurangnya khasiat obat, penting bagi kita untuk mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap timbulnya interaksi obat yang merugikan.
Selain itu, penggunaan kombinasi obat antihipertensi yang dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping obat, kombinasi obat anti tuberkulosis yang dapat memperlambat timbulnya resistensi kuman terhadap obat dan antagonisme terhadap efek toksik obat oleh antidotnya masing masing, misalnya keracunan jengkol dengan bikarbonas, keracunan baygon dengan sulfas atropin dan lain sebagainya.
Nah....Dengan adanya kemungkinan berkurangnya khasiat obat, penting bagi kita untuk mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap timbulnya interaksi obat yang merugikan.
Pertama-tama,
jika memperoleh resep obat dari dokter yang lebih dari satu, yakinkan dokter
yang menulis ini benar-benar mengetahui obat-obat tersebut tidak saling
mempengaruhi.
Dapat pula menanyakan kepada apoteker, pada saat menebus obat di apotek.
Dapat pula menanyakan kepada apoteker, pada saat menebus obat di apotek.
Kedua,
informasikanlah semua obat yang anda konsumsi baik obat bebas maupun obat
herba/suplemen kepada dokter anda.
Ketiga, perlu diingat nama-nama obat yang saling berinteraksi, misalnya aspirin atau obat pereda sakit yang lain, obat untuk sakit maag seperti antasida, anti mual dan muntah, antibiotik, antiperadangan, antihistamin, obat-obat untuk asma, tekanan darah tinggi, serta obat flu.
Terakhir, informasikan juga setiap efek yang tidak diharapkan yang muncul setelah anda mengkonsumsi suatu obat.
Ketiga, perlu diingat nama-nama obat yang saling berinteraksi, misalnya aspirin atau obat pereda sakit yang lain, obat untuk sakit maag seperti antasida, anti mual dan muntah, antibiotik, antiperadangan, antihistamin, obat-obat untuk asma, tekanan darah tinggi, serta obat flu.
Terakhir, informasikan juga setiap efek yang tidak diharapkan yang muncul setelah anda mengkonsumsi suatu obat.
Interaksi
antara obat dengan obat didefinisikan sebagai modifikasi efek dari suatu
obat karena kehadiran obat lain (Walker dan Edwards, 1989), baik diberikan
sebelumnya atau bersamaan yang dapat memberikan potensi atau antagonisme satu
obat oleh obat lain (Anonim, 2000), dapat menguntungkan ataupun merugikan.
Interaksi
obat terjadi ketika efek suatu obat diubah dengan adanya obat lain atau dengan
makanan.
Jenis-Jenis
Interaksi :
1.
Interaksi obat dengan obat
2.
Interaksi obat dengan makanan
3.
Interaksi obat dengan minuman
4.
Interaksi obat dengan penyakit
Contoh
: Sakit maag atau dyspepsia --> minum obat NSID (asam mefenamat, aspirin)
akan mengalami gangguan pada lambung
Interaksi
yang merugikan
Obat-obat
golongan sedatif dan antihistamin jika digunakan secara bersamaan dapat
menyebabkan penurunan kesadaran dan memperlambat reaksi pasien karena efek
penurunan kesadaran keduanya menjadi efek sinergisme (Anonim, 2005)
Contoh:
Obat-obat sedatif (diazepam, klordiazepoksid, luminal) jika digunakan secara
bersamaan
dengan antihistamin menyebabkan penurunan kesadaran
dengan antihistamin menyebabkan penurunan kesadaran
Interaksi
yang menguntungkan
Penggunaan
bersama sulfametoksasol dan trimetoprim-->kotrimoksasol
Penggunaan
bersama antara metoklopramid dan parasetamol akan meningkatkan absorbsi
parasetamol.
Efek
yang dihasilkan : 1/2 tablet Paracetamol + metoklopramid = 1 tablet paracetamol
tunggal
Hasil
Interaksi
Hasil
interaksi obat dengan obat adalah respon klinis atau farmakologis dari suatu
pemberian
kombinasi obat, yang berbeda dari yang seharusnya terjadi bila kedua obat-obat diberikan
sendiri-sendiri. Efek yang terjadi dapat berupa :
kombinasi obat, yang berbeda dari yang seharusnya terjadi bila kedua obat-obat diberikan
sendiri-sendiri. Efek yang terjadi dapat berupa :
a.
Antagonisme (1+1<2)--> saling menurunkan khasiat dari masing-masing obat
Kegiatan obat pertama dikurangi atau bahkan ditiadakan sama sekali oleh obat
kedua yang
memiliki khasiat farmakologis yang bertentangan, misalnya adrenalin dan histamin.
memiliki khasiat farmakologis yang bertentangan, misalnya adrenalin dan histamin.
Contoh : ekspektoran + antitusiv, adrenalin + antihistamin
b.
Sinergisme (1+1>2)
Kerjasama antara dua obat dan dikenal ada dua jenis yaitu Adisi efek kombinas
adalah sama
dengan kegiatan dari masing-masing obat (1+1=2).
Contoh : kombinasi asetosal dan parasetamol, juga trisulfa.
dengan kegiatan dari masing-masing obat (1+1=2).
Contoh : kombinasi asetosal dan parasetamol, juga trisulfa.
Potensiasi (mempertinggi potensi). Kegiatan obat dipertinggi oleh
obat kedua (1+1>2),
kedua obat dapat memiliki kegiatan yang sama seperti estrogen dan progesteron,
sulfametoksasol dan trimetoprim asetosal dan kodein. Atau satu obat tidak memiliki efek
bersangkutan misalnya analgetik dan klorpromazin, benzodiazepin/meprobamat dan alkohol,
penghambatan MAO dan amfetamin dan lainnya
kedua obat dapat memiliki kegiatan yang sama seperti estrogen dan progesteron,
sulfametoksasol dan trimetoprim asetosal dan kodein. Atau satu obat tidak memiliki efek
bersangkutan misalnya analgetik dan klorpromazin, benzodiazepin/meprobamat dan alkohol,
penghambatan MAO dan amfetamin dan lainnya
Contoh : Sulfametoksasol + Trimetoprim --> efek sinergesme
Amoxicillin + Asam Klavulanat --> Asam Klavulanat meningkatkan aktivitas
amoksisilin karena dapat memproteksi cincin beta laktam dari amoxicillin.
c.
Idiosinkrasi
Yaitu peristiwa suatu obat memberikan efek yang secara kualitatif
total berlainan dari efek
normalnya, umumnya disebabkan kelainan genetika pada pasien bersangkutan. Sebagai
contoh disebut Anemia Hemolitik (kurang darah akibat terurainya sel-sel darah) setelah
pengobatan malaria dengan primaquin atau derivatnya. Contoh lain pasien pada
pengobatan neuroleptika untuk menenangkannya justru memperlihatkan reaksi yang
bertentangan dan menjadi gelsiah dan cemas (Tjay dan Rahardja, 1986)
normalnya, umumnya disebabkan kelainan genetika pada pasien bersangkutan. Sebagai
contoh disebut Anemia Hemolitik (kurang darah akibat terurainya sel-sel darah) setelah
pengobatan malaria dengan primaquin atau derivatnya. Contoh lain pasien pada
pengobatan neuroleptika untuk menenangkannya justru memperlihatkan reaksi yang
bertentangan dan menjadi gelsiah dan cemas (Tjay dan Rahardja, 1986)
Mekanisme Interaksi Obat :
Mekanisme interaksi obat dibagi mnjadi 3 kelompok :
1. Interaksi Farmasetik
Interaksi farmasetik adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat diformulasikan atau disiapkan sebelum obat tersebut digunakan oleh pasien
Contoh : a. Penurunan titik kelarutan, penurunan titik beku pada interaksi secara fisik.
b. Reaksi hidrolisa saat pembuatan atau dalam penyiapan pada interaksi kimia dapat
menyebabkan inkompatibilitas sediaan obat
2. Interaksi Farmakokinetik
Pada interaksi farmakokinetik terjadi perubahan pada proses absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi, dapat dilihat perubahan-perubahan parameter farmakokinetika
seperti konsentrasi maksimal luas area di bawah kurva dan waktu paroh suatu obat.
2.1. Interaksi pada Absorbsi
Interaksi ini terjadi jika absorbsi suatu obat dipengaruhi oleh obat lain.
Contoh : terbentuknya kelat Al, Mg, Ca, garam besi oleh tetrasiklin
2.2. Interaksi dalam proses Distribusi
Interaksi ini terjadi jika obat-obat dengan ikatan protein kuat mendesak obat-obat dengan
ikatan protein lemah sehingga konsentrasi obat bebas meningkat. Terjadinya hal tersebut
sangat potensial dalam peningkatan efek toksik dari suatu obat, terutama oabat yang
memiliki rasio efek terapi dan efek toksik yang rendah (indeks terapi sempit)
Contoh : a) meningkatnya efek toksik warfarin atau obat hipoglikemik karena pemberian
bersama dengan fenilbutazon, sulfa / asetosal
2.3. Interaksi dalam proses Metabolisme
Metabolisme suatu obat dihambat atau ditingkatkan oleh obat lain. Biasanya berpengaruh
pada sitokrom P450
2.4. Interaksi dalam proses Ekskresi
Ekskresi obat melalui ginjal dipengaruhi oleh obat lain
Contoh : Quinidin menginhibisi sekresi tubular dari digoksin dan konsekuensinya
konsentrasi plasma digoksin meningkat dan mungkin menyebabkan toksik
3. Interaksi Farmakodinamik
Pada interaksi farmakodinamik terjadi interaksi pada tingkat reseptor. Jika interaksi bersifat
sinergisme maka efek obat akan meningkat. Jika interaksi bersifat antagonisme maka efek
obat akan menurun (saling meniadakan).
Contoh : penurunan aksi obat-obat hipnotik oleh coffein.
Ada 5 tingkat signifikansi yang menunjukkan tingkat keberbahayaan suatu interasi antar obat yaitu:
1. Signifikansi 1 : berat atau berbahaya dan data terdokumentasi dengan baik
2. Signifikansi 2 : berat atau berbahaya sampai sedang dan data terdokumentasi dengan baik
3. Signifikansi 3 : tidak berbahaya (ringan) dengan data terdokumentasi dengan baik
4.
Signifikansi 4 : tidak berbahaya (ringan) dengan data sangat terbatas
5. Signifikansi 5 : tidak berbahaya (ringan) dengan data sangat terbatas dan belum terbukti secara
klinis.
Tingkat signifikansi dinilai dari onset, severity/keparahan, serta dokumentasi.
Onset adalah seberapa cepat efek dari suatu interaksi terjadi dan menentukan seberapa penting tindakan yang harus dilakukan untuk menghindari akibat dari suatu reaksi. Onset dibagi 2 :
a. Rapid : efek dari interaksi obat yang terlihat dalam 24 jam setelah pemberian obat, perlu
tindakan penanganan segera.
b. Delayed : efek dari interaksi obat yang terlihat berhari-hari bahkan berminggu-minggu
setelah pemberian obat, tidak perlu tindakan penanganan dengan segera
Severity / tingkat keparahan adalah potensi keberbahayaan interaksi.
Dibagi menjadi 3 :
a. Major : efek potensial yang membahayakan jiwa atau menyebabkan kerusakan permanen
5. Signifikansi 5 : tidak berbahaya (ringan) dengan data sangat terbatas dan belum terbukti secara
klinis.
Tingkat signifikansi dinilai dari onset, severity/keparahan, serta dokumentasi.
Onset adalah seberapa cepat efek dari suatu interaksi terjadi dan menentukan seberapa penting tindakan yang harus dilakukan untuk menghindari akibat dari suatu reaksi. Onset dibagi 2 :
a. Rapid : efek dari interaksi obat yang terlihat dalam 24 jam setelah pemberian obat, perlu
tindakan penanganan segera.
b. Delayed : efek dari interaksi obat yang terlihat berhari-hari bahkan berminggu-minggu
setelah pemberian obat, tidak perlu tindakan penanganan dengan segera
Severity / tingkat keparahan adalah potensi keberbahayaan interaksi.
Dibagi menjadi 3 :
a. Major : efek potensial yang membahayakan jiwa atau menyebabkan kerusakan permanen
b.
Moderate : efek yang menyebabkan perubahan dari status klinis pasien, perawatan
tambahan,
rawat inap, atau perpanjangan rawat inap diperlukan
rawat inap, atau perpanjangan rawat inap diperlukan
c.
Minor : efek biasanya ringan, akibatnya mungkin mengganggu atau tidak disadari,
tetapi tidak
mempengaruhi secara signifikan terhadap efek obat yang diinginkanterjadi. Tidak
diperlukan perawatan tambahan
diperlukan perawatan tambahan
Dokumentasi menentukan tingkat kepercayaan atau bukti bahwa interaksi dapat menyebabkan perubahan respon klinis. Skala ini menunjukkan pengelompokan yang mendukung terjadinya suatu interaksi.
Ada 5 tingkatan dokumentasi :
1. Established : terbukti dalam penelitian terkontrol.
2. Probable : sering terjadi tetapi tidak terbukti dalam peneltian terkontrol
3. Suspected : dapat terjadi dengan data kejadian yang cukup dan diperlukan penelitian lebih
lanjut
4. Possible : mungkin terjadi dengan data kejadian sangat terbatas
5. Unlikely : diragukan, tidak ada bukti yang cukup terjadinya perubaan efek klinis
” INTERAKSI OBAT ”
Secara
umum suatu interaksi obat dapat digambarkan sebagai suatu interaksi antar suatu
obat dan unsur lain yang yang dapat mengubah kerja salah satu atau keduanya,
atau menyebabkan efek samping tak diduga. Pada prinsipnya interaksi obat dapat
menyebabkan dua hal penting. Yang pertama, interaksi obat dapat mengurangi atau
bahkan menghilangkan khasiat obat. Yang kedua, interaksi obat dapat menyebabkan
gangguan atau masalah kesehatan yang serius, karena meningkatnya efek samping
dari obat- obat tertentu. Risiko kesehatan dari Interaksi obat ini sangat
bervariasi, bisa hanya sedikit menurunkan khasiat obat namun bisa pula fatal.
Obat
merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila tercampur
dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman ataupun obat-obatan.
Interaksi juga terjadi pada berbagai kondisi kesehatan seperti diabetes,
penyakit ginjal atau tekanan darah tinggi. Dalam hal ini
terminologi interaksi obat dikhususkan pada interaksi obat dengan obat.
Dalam interaksi obat-obat, obat yang mempengaruhi disebut presipitan, sedangkan obat yang dipengaruhi disebut objek. Contoh presipitan adalah aspirin, fenilbutazon dan sulfa. Object drug biasanya bersifat mempunyai kurva dose-response yang curam (narrow therapeutic margin), dosis toksik letaknya dekat dosis terapi (indeks terapi sempit). Contoh : digoksin, gentamisin, warfarin objeko, dilantin, obat sitotoksik, kontraseptif oral, dan obat-obat sistem saraf pusat. Berdasarkan jenis atau bentuknya interaksi obat diklasifikasikan atas:
Dalam interaksi obat-obat, obat yang mempengaruhi disebut presipitan, sedangkan obat yang dipengaruhi disebut objek. Contoh presipitan adalah aspirin, fenilbutazon dan sulfa. Object drug biasanya bersifat mempunyai kurva dose-response yang curam (narrow therapeutic margin), dosis toksik letaknya dekat dosis terapi (indeks terapi sempit). Contoh : digoksin, gentamisin, warfarin objeko, dilantin, obat sitotoksik, kontraseptif oral, dan obat-obat sistem saraf pusat. Berdasarkan jenis atau bentuknya interaksi obat diklasifikasikan atas:
- Interaksi
secara kimia atau farmasetis
- Interaksi
secara farmakokinetik
- Interaksi
secara fisiologi
- Interaksi
secara farmakodinamik
Interaksi secara kimia / farmasetis terjadi apabila secara fisik atau kimia suatu obat inkompatibel dengan obat lainnya. Pencampuran obat yang inkompatibel akan mengkibatkn inaktivasi obat. Interaksi ini sering terjadi pada cairan infus yang mencampurkan berbagai macam obat . Interaksi secara farmakokinetik terjadi apabila suatu obat memepengaruhi absorpsi, distribusi, biotransformasi / metabolisme, atau ekskresi obat lain.
Secara fisiologi interaksi terjadi apabila suatu obat
merubah aktivitas obat lain pada lokasi yang terpisah dari tempat aksinya.
Sedangkan interaksi secara farmakodinamik terjadi apabila suatu obat
mempengaruhi aktivitas obat lain pada atau dekat sisi reseptornya. Pada
kenyataaanya interakPada kenyataanya banyak obat yang berinteraksi obat terjadi
tidak hanya dengan satu mekanisme tetapi melibatkan dua atau lebih mekanisme.
Akan tetapi secara umum mekanisme interaksi obat dalam tubuh dapat dijelaskan
atas dua mekanisme utama, yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi
farmakodinamik.
Obat dapat berinteraksi dengan makanan,
zat kimia yang masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain.
Interaksi antar obat dapat berakibat
menguntungkan atau merugikan. Interaksi yang menguntungkan, misalnya (1)
Penicillin dengan probenesit: probenesit menghambat sekresi penilcillin di
tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penicillin dalam plasma dan dengan
demikian meningkatkan efektifitas dalam terapi gonore; (2) Kombinasi obat anti
hipertensi: meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping: (3) Kombinasi
obat anti kanker: juga meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping (4)
kombinasi obat anti tuberculosis: memperlambat timbulnya resistansi kuman
terhadap obat; (5) antagonisme efek toksik obat oleh antidotnya masing-masing.
Interaksi obat dianggap penting secara
klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektifitas
obat yang berinteraksi, jadi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan
yang sempit, misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat
sitotastik. Demikian juga interaksi yang menyangkut obat-obat yang biasa
digunakan atau yang sering diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat
yang dipakai.
Insidens interaksi obat yang penting
dalam klinik sukar diperkirakan karena (1) Dokumentasinya masih sangat kurang;
(2) Seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan para dokter
akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat sehingga interaksi obat
berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi
terhadap salah satu obat sedangkan interaksi berupa penurunan efektifitas
seringkali diduga akibat bertambahnya keparahan penyakit; selain itu, terlalu
banyak obat yang saling berinteraksi sehingga sulit untuk diingat; (3) Kejadian
atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual ( populasi
tertentu lebih peka misalnya penderita lanjut usia atau yang berpenyakit parah,
adanya perbedaan kapasitas metabolisme antar individu ), penyakit tertentu (
terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah), dan faktor- faktor lain (
dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik).
Salah satu faktor yang dapat mengubah
respon terhadap obat adalah pemberian bersamaan dengan obat-obat lain. Ada
beberapa mekanisme dimana obat dapat berinteraksi, tetapi kebanyakan dapat
dikategorikan secara farmakokinetik ( absorpsi, distribusi, metabolisme,
eksresi), farmakodinamik, atau toksisitas kombinasi. Pengetahuan tentang
mekanisme dimana timbulnya interaksi obat yang diberikan sering bermanfaat
secara klinik, karena mekanisme dapat mempengaruhi baik waktu pemberian obat
maupun metode interaksi. Bebereapa interaksi obat yang penting timbul akibat
dua mekanisme atau lebih.
Akibat interaksi obat dapat terjadi
keadaan :
Sumasi (adiktif).
Sinergisme, contoh : Sulfonamid mencegah bakteri untuk
mensintesa dihidrofolat, sedangkan trimetoprim menghambat reduksi dihidrofolat
menjadi tetrahidrofolat. Kedua obat ini bila diberikan bersama-sama akan
memiliki efek sinergistik yang kuat sebagai obat anti bakteri.
Antagonisme, contoh : Antagonis reseptor beta ( beta
bloker) mengurangi efektifitas obat-obat bronkhodilator seperti salbutamol yang
merupakan agonis beta reseptor.
Potensiasi, contoh : 1) banyak diuretika yang menurunkan
kadar kalium plasma, dan yang akan memperkuat efek glikosid jantung yang
mempermudah timbulnya toksisitas glikosid. 2) Penghambat monoamin oksidase
meningkatkan jumlah noradrenalin di ujung syaraf adrenergik dan karena itu
memperkuat efek obat-obat seperti efedrin dan tiramin yang bekerja dengan cara
melepaskan noradrenalin.
Pemberian suatu obat ( misal obat A)
dapat mengubah efek obat lain (misal obat B) dengan cara : (1) Mengubah efek
obat B tanpa mempengaruhi konsentrasi di cairan jaringan (disebut interaksi
farmakodinamik), atau (2) Mengubah konsentrasi obat B yang mencapai tempat
kerja (disebut interaksi farmakokinetik ).
Interaksi Farmakokinetik
Interaksi
farmakokinetik terjadi apabila salah satu obat mempengaruhi absorbsi,
distribusi, metabolisme, ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua
meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau
penurunan aktivitas obat tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat di
ekstra polasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi,
sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat segolongan terdapat
variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat
farmakokinetiknya.
A. Interaksi
obat pada proses absorbsi
Interaksi langsung
Interaksi
secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorbsi
dapat mengganggu proses absorbsi. Interaksi dapat dihindarkan/sangat dikurangi
bila obat yang berinteraksi diberikan dengan jarak waktu minimal 2jam.
|
Obat A
|
Obat B
|
Efek
|
|
Tetrasiklin
|
Kation multivalen (Ca2+ , Mg2+,
Al3+ dalam antasid, Ca2+ dalam susu, Fe2+
dalam sediaan besi)
|
Terbentu kelat yang tidak di absorbsi " jumlah absorbsi obat A dan Fe2+$
|
|
Digoksin, digitoksin
|
Kolestiramin
Kortikosteroid, tiroksin
|
Obat
A diikat oleh obat B " jumlah absorbsi
obat
A$
|
|
Digoksin,
linkomisin
|
Kaolin-pektin
|
Obat
A diabsorbsi oleh obat B " jumlah absorbsi obat A$
|
Perubahan pH cairan saluran cerna
Cairan saluran
cerna yang alkalis, misalnya akibat antacid, akan meningkatkan kelarutan obat
bersifat asam yang sukar larut dalam cairan tersebut, misalnya aspirin. Dalam suasana alkalis, aspirin lebih
banyak terionisasi sehingga absorbsi per satuan area absorbsi lebih lambat,
tetapi karena sangat luas area absorbsi di usus halus maka kecepatan abrsorbsi
secara keseluruhan tidak banyak dipengaruhi. Dengan demikian, dipercepatnya
disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorbsinya. Akan tetapi, suasana alkali
di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat bersifat basa
(misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, dangan akibat mengurangi
absorbsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh antasid akan mengurangi
pengrusakan obat yang tidak tahan asam sehingga meningkatkan
bioavailabilitasnya, dan mengurangi absorbsi Fe, yang di absorbsi paling baik
bila cairan lambung sangat asam.
|
Obat
A
|
Obat
B
|
Efek
|
|
NaHCO3
|
Aspirin
|
Kecepatan
disolusi B #
" kecepatan absorbsi obat B #
|
|
NaHCO3
|
Tetrasiklin
|
Kelarutan obat B $ " jumlah absorbsi obat B $
|
|
Antasit
|
Penisilin G, eritromisin
|
pH lambung # " pengrusakan obat B $ " jumlah absorbsi obat B #
|
Perubahan waktu pengosongan lambung dan waktu transit
dalam usus (motilitas saluran cerna).
Usus halus
adalah tempat absorbsi utama untuk semua obat termasuk obat bersifat asam. Disini absorbsi
terjadi jauh lebih cepat dari pada di lambung. Oleh karena itu, makin cepat
obat sampai di usus halus, makin cepat pula absorbsinya. Kecepatan pengosongan
lambung biasanya hanya mempengaruhi kecepatan absorbsi tanpa mempengaruhi
jumlah obat yang diabsorbi. Ini berarti, kecepatan pengosongan lambung biasanya
hanya mengubah tinggi kadar puncak dan waktu untuk mencapai kadar tersebut
tanpa mengubah bioavailibilitas obat. Karena kapasitas metabolisme dinding usus
halus lebih terbatas dibandingkan kapasitas absorbsinya, maka makin cepat obat
ini sampai di usus halus, makin tinggi bioavailibilitanya.
|
Obat A
|
Obat B
|
Efek
|
|
Metoklopramid
|
Parasetamol, diazepam, propanolol
|
Obat A memperpendek waktu pengosongan lambung " mempercepat absorbsi obat B
|
|
Antikolinergik
Antidepresi trisiklik
|
Parasetamol, diazepam, propanolol, fenilbutazon
|
Obat A memperpanjang waktu pengosongan lambung " memperlambat absorbsi obat B
|
|
Antikolinergik
Antidepresi trisiklik
|
Levodopa
|
Obat A memperpanjang waktu pengosongan lambung " bioavailibilitas obat B $
|
B. Interaksi
obat pada ikatan protein plasma
Banyak obat
terikat pada protein plasma, obat yang bersifat asam terutama pada albumin,
sedangkan obat yang bersifat basa pada asam a1-glikoprotein. Oleh karena jumlah protein plasma terbatas, maka terjadi
kompetisi antara obat bersifat asam maupun antara obat bersifat basa untuk
berikatan dengan protein yang sama. Tergantung dari kadar obat dan afinitasnya
terhadap protein, maka suatu obat dapat digeser dari ikatannya dengan protein
oleh obat lain, dan peningkatan kadar obat bebas menimbulkan peningkatan efek
farmakologinya. Akan tetapi keadaan ini hanya berlangsung sementara karena
peningkatan kadar obat bebas juga meningkatkan eliminasinya sehingga akhirnya
tercapai keadaan mantap yang baru dimana kadar obat total menurun tetapi kadar
obat bebas kembali seperti sebelumnya (mekanisme konpensasi).
|
Obat A
|
Obat B
|
Efek
|
|
Tolbutamid, klorpropamid
|
Fenilbutazon, oksifenbutazon, salisilat
|
Hipoglikemia
|
|
Fenitoin
|
Fenilbutazon, oksifenbutazon, salisilat, valproat
|
Toksisitas fenitoin #
|
C. Interaksi obat pada proses metabolisme
Metabolisme obat dipercepat
Setiap seaksi
metabolisme dikatalis oleh beberapa jenis enzim yang berbeda dalam spesifitas
substratnya dan kemampuannya untuk diinduksi. Oleh karena itu, tergantung dari
jenis enzim yang diinduksinya, suatu zat penginduksi dapat mempercepat
metabolisme beberapa obat tetapi tidak mempengaruhi metabolisme obat-obat yang
lain.
Bila metabolit
hanya sedikit atau tidak mempunyai efek farmakologi, maka zat penginduksi
mengurangi efek obat. Sebaliknya, bila metabolik lebih aktif atau merupakan zat
yang toksik, maka zat penginduksi meningkatkan efek atau toksisits obat.
|
Obat A
|
Obat B
|
Efek
|
|
Fenitoin
|
Korikoseroid,hormon seks steroid, kuinidin
|
Obat A menginduksi sintesis enzim metabolisme obat B " metabolisme obat B# " kadar plasma obat B $ sedangkan metabolitnya#
|
|
Kabamazepin
|
Fenitoin, warfarin
|
|
|
Merokok,makanan panggang arang
|
Teofilin, dekstroproposifen
|
Metabolisme obat dihambat
Penghambatan
metabolisme suatu obat menyebabkan peningkatan kadar plasma obat tersebut
sehingga meningkatkan efek atau toksisitas. Kebanyakan interaksi demikian
terjadi akibat kompetisi antar substrat untuk enzim metabolisme yang sama.
|
Obat A
|
Obat B
|
Efek
|
|
Fenitoin
|
Dikumoral,disurfiram, kloramfenikol, fenilbutazon,
simetidin, dekstrorpopoksifen, INH (pada asetilator lamban), PAS,sikloserin,
klorpromazin, imipramin.
|
Obat
B menghambat metabolisme obat A " efek / toksisitas obat A#
|
|
Lidokain
|
Simetidin
|
|
|
Warfarin
|
Fenilbutazon, oksifenbutazon, kotrimoksazol,disulfiram,
metronidazol, simetidin, dekstropropoksifen.
|
Interaksi Dalam Ekskresi
Ekskresi melalui empedu dan sirkulasi
enterohepatik. Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat
kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama.
Sedangkan sirkulasi enterohepatik dapat diputuskan dengan mensupresi bakteri
usus yang menghidrolisis konyugat obat atau dengan mengikat obat dibebaskan
sehingga tidak dapat diabsorbsi.
Sekresi tubuli ginjal. Penghambatan
sekresi di tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat untuk sistem
transportasi aktif yang sama, terutama sistem transport untuk obat asam dan
metabolit yang bersifat asam.
Perubahan pH urin. Perubahan ini
akan menghasilkan perubahan bersihan ginjal (melalui perubahan jumlah
reabsorbsi pasif di tubuli ginjal ) yang berarti secara klinik hanya bila : (1)
fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (lebih dari 30%), dan
(2) obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam lemah dengan pKa
3,0-7,5.
How to get to Borgata by Bus from Borgata Hotel Casino
BalasHapusDirections to Borgata by Bus (Lincoln) with public 순천 출장샵 transportation. The 여주 출장마사지 following transit lines 경상남도 출장마사지 have routes that pass near 강원도 출장샵 Borgata 고양 출장샵